KAMU GENERASI SANDWICH?

 

Beberapa hari ini, topik seputar Sandwich Generation tampaknya menjadi topik hangat di jagat Twitter. Secara sederhana, generasi sandwich mengacu pada generasi orang dewasa usia produktif yang bertanggungjawab atas generasi di atasnya (orang tua) dan di bawahnya (anak-anak atau adik) maupun kepada diri sendiri dan pasangan, baik secara ekonomi, waktu, tenaga, dan perhatian. Istilah ini sebetulnya bukan hal yang baru, namun mungkin belum sering dibahas oleh kita.

Konsep dan definisi

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy Miller dan Elaine Brody di 1981 yang awalnya istilah itu merujuk pada kaum wanita di umur 30-an sampai 40-an yang selain harus merawat anak-anak mereka juga masih harus memenuhi kebutuhan orang tua mereka, bos, teman-teman, dan orang lain di sekitar mereka.

Namun, pada perkembangannya fenomena ini tak hanya dirasakan oleh kaum wanita saja, tapi juga lelaki dan cakupannya pun meluas, mulai dari umur 20-an sampai 60-an. Demografinya mungkin berubah, namun secara konsep istilah ini masih sama, yaitu generasi yang “terjebak” di tengah dan harus menyokong generasi di atas dan di bawahnya yang masih harus bergantung pada bantuan mereka.

Berapa kategorinya? 

Carol Abaya, seorang ahli di isu demografi Amerika Serikat lantas mengategorikan beberapa skenario berbeda yang mungkin dialami generasi sandwich saat ini, yaitu:

  • Traditional sandwich generation. Mereka yang berada di tengah orang tua yang menua dan butuh bantuan dan anak-anak mereka yang masih diasuh dan belum bisa mandiri.
  • Club sandwich. Mereka yang berumur 40, 50, dan 60-an yang berada di tengah orang tua mereka yang di usia senja, anak-anak yang sudah dewasa, dan cucu mereka. Namun istilah ini juga bisa dipakai untuk orang berusia 20, 30, 40-an yang bertanggungjawab untuk anak-anak mereka, orangtua, dan kakek-nenek mereka. Intinya istilah ini dipakai bila lapisan generasi yang terlibat lebih bertingkat.
  • Open-faced sandwich. Siapapun yang ikut terlibat dalam mengurus orang lanjut usia.
Tantangan generasi sandwich

Menjadi bagian dari generasi sandwich seringkali kita dihadapkan pada tekanan finansial karena memang pendapatan habis dipakai untuk membiayai banyak orang, mulai dari orang tua yang sudah pensiun dan mungkin mulai sakit-sakitan, anak yang butuh biaya sekolah, dan tentu saja kebutuhan untuk diri sendiri dan pasangan yang juga harus diperhatikan dan dipenuhi.

Selain masalah ekonomi, generasi sandwich juga dihadapkan pada masalah menjaga kesehatan diri sendiri secara fisik dan mental, menikmati waktu pribadi, dan perkembangan karier yang mungkin terhambat karena harus berkorban secara waktu, contohnya mengajukan resign dari kantor untuk mengurus usaha keluarga atau kerja di rumah agar bisa punya waktu merawat orang tua maupun anak.

Walaupun hal ini dialami baik oleh pria dan wanita, namun pada praktiknya ada perbedaan dari bagaimana masyarakat memandang fungsi keduanya. Kaum pria dianggap sudah bertanggungjawab bila mampu memenuhi kebutuhan ekonomi saja, namun bagi kaum wanita ada tekanan lebih bahwa mereka juga diharapkan untuk membantu secara emosional dan fisik. Ibaratnya, pria cukup menyisihkan gaji mereka namun bagi wanita, mereka juga diharapkan mengerjakan pekerjaan rumah, mengasuh anak dan orangtua, hingga urusan dapur.

Merawat orang tua sekaligus mengasuh anak jelas bukan pekerjaan mudah dan menguras waktu, emosi, dan ekonomi. Ketika semua hal itu seolah tak ada habisnya dan rasanya selalu saja ada masalah baru dan pengeluaran yang harus dibayar hingga kamu tak sempat bersantai atau melakukan hal yang kamu suka, hal ini bisa berakibat negatif pada kesehatan mental dan fisikmu. Depresi, stres, dan kecemasan adalah momok yang menghantui generasi sandwich. Perasaan terisolasi, terjebak, tak punya tempat bercerita, dan perasaan bersalahpun sering menimpa generasi sandwich yang meskipun sudah berusaha keras namun merasa gagal dan belum bisa memberikan yang terbaik untuk keluarga mereka.

Faktor pendorong generasi sandwich

Meskipun istilah generasi sandwich berasal dari Barat, namun faktanya hal ini bukan asing bagi penduduk di belahan dunia lainnya, termasuk Indonesia. Di Indonesia, generasi sandwich justru menjadi hal yang lumrah karena berbagai faktor, seperti:

1. Kekeluargaan

Indonesia masih menganut paham kekeluargaan yang kental di mana seorang anak yang sudah bekerja seakan wajib membalas budi orang tua dengan membiayai mereka di hari tua. Mayoritas dari kita tentu merasa itu hal yang sudah sewajarnya karena tidak sebanding dengan pengorbanan yang telah dilakukan oleh orang tua ketika membesarkan kita. Walaupun berat, namun hal ini harus dilakukan dengan ikhlas. Kitapun mungkin mengharapkan hal yang sama dari anak kita kelak, namun sebetulnya hal ini bisa menjadi lingkaran setan yang tak putus dan hanya akan memberatkan generasi-generasi berikutnya.

Takut dicap durhaka juga membuat banyak orang Indonesia enggan memilih opsi panti jompo u ntuk orang tua lanjut usia. Hasil Survei Ekonomi Nasional 2017 yang dilansir Katadata (April 2018) mengungkap sebanyak 62.64% kaum lanjut usia di Indonesia tinggal bersama anak dan cucunya. Selain beban ekonomi, seringkali tinggal bersama dengan orangtua juga menyebabkan ketidakharmonisan antara mertua versus menantu yang menambah beban pikiran. 

2. Minim perencanaan keuangan

Minimnya pengetahuan tentang perencanaan keuangan baik untuk masa kini dan masa depan menjadi alasan kenapa banyak generasi di atas kita yang di hari tua hanya menggantungkan nasib pada anaknya. Alih-alih menyiapkan tabungan pensiun, anak justru dianggap menjadi investasi masa tua paling ampuh. Begitu pun dengan obrolan soal finansial yang kerap dianggap tak perlu diketahui oleh anak. Anak cukup fokus memikirkan sekolah yang benar tanpa harus memikirkan soal ekonomi orang tuanya. Anggapan tersebut walaupun berlandaskan rasa cinta, namun dapat membuat anak tak siap dan peka bila kelak masalah ekonomi datang menimpa. Padahal lebih baik, anak-anak terutama yang sudah masuk usia remaja ikut dilibatkan dalam obrolan finansial dan diberi pemahaman soal mengatur uang. Jangan lupa juga bercermin ke diri sendiri, apakah kita saat ini sudah mulai memikirkan rencana masa tua kita atau belum? Apakah kita cenderung hidup untuk hari ini atau bahkan terbiasa berhutang?

3. Tuntutan sosial

"Selamat kamu sudah lulus kuliah dan berhasil mendapat pekerjaan dan penghasilan yang tetap. Berarti sekarang tinggal fokus mencari pasangan dan menikah dong?"

Kemungkinan besar kamu pasti pernah mendapat komentar seperti itu baik, baik dari saudara, teman, atau bahkan orangtua sendiri yang ingin kamu segera berkeluarga. Celetukan seperti itu memang bikin gemas. Di satu sisi terdengar polos dan tak punya maksud buruk, tapi di sisi lain bisa terasa begitu usil dan menjengkelkan. Masih banyak, orang tua yang berharap atau bahkan mendorong anaknya segera menikah tanpa melihat kondisi finansial sang anak. Bila dipaksakan, hal ini cuma akan menjadi beban pikiran di masa mendatang, terutama ketika buah hati telah datang

Menjadi generasi sandwich

Memutus siklus generasi sandwich tampaknya memang harus dilakukan secara sadar dari kita sendiri dan mulai hari ini. Semua yang pernah atau sedang berada di kondisi ini punya cara masing-masing untuk mengakalinya, dari mulai mencari penghasilan tambahan sampai menunda menikah dan punya anak. Namun rasanya kita semua setuju kalau yang paling utama adalah menambah wawasan soal finansial.

Bagi kita yang masih di usia produktif, menyiapkan dana pensiun adalah hal yang mutlak. Selain itu, sempatkan juga waktu untuk mempelajari berbagai opsi investasi dan asuransi yang mungkin kita butuhkan baik untuk diri sendiri maupun untuk orang tua dan anak kita kelak. Tidak ada kata terlambat untuk mulai menabung. Kebiasaan menyisihkan gaji untuk tabungan dan membuat bujet finansial yang jelas setiap bulan akan membantu kita menghadapi hal-hal tak terduga, mulai dari kebutuhan rumah, hingga biaya sakit dan mungkin pemakaman.

Yang penting juga adalah membangun mindset bahwa kelak kita harus bisa bertanggungjawab untuk diri sendiri dan tidak bergantung pada anak. Tanamkan pola pikir untuk mengizinkan anak-anak kita nanti menikmati kesuksesan mereka di masa mendatang dan fokus mengurus diri serta keluarga mereka nantinya. 

Untuk orang tua yang terlanjur bergantung pada bantuan kita, yang bisa kita lakukan adalah coba membantu dengan seikhlasnya, meski kadang tak mudah. Namun, bukan berarti kita tak boleh bicara jujur tentang kondisi finansial dan beban pikiran yang kita rasakan. Berikan pemahaman yang baik tentang kesanggupan kita. Bila kita punya saudara kandung, kitapun bisa berdiskusi membagi tanggung jawab dan pengeluaran dalam membantu orangtua. Begitu juga bila orang tua termasuk yang suka mendorong kita cepat menikah atau punya anak, sampaikan dengan jelas bahwa prioritas kita saat ini mungkin belum di situ.

Bagaimana untuk yang sudah punya anak atau adik yang masih harus dibiayai? Sebagai orang tua, kita mungkin harus siap memberikan edukasi keuangan, terutama bila mereka sudah masuk usia sekolah atau remaja. Mulai dari kebiasaan menabung hingga mencari uang jajan sendiri.

  • Mengelola stres. Merupakan hal wajar bila kita merasa stres bila dihadapkan dengan maslaah atau pengeluaran yang seakan tak ada habisnya, baik di tempat kerja maupun di rumah. Seperti kata RuPaul, kalau kamu tak bisa mencintai diri sendiri, bagaimana kamu bisa mencintai orang lain? Salah satu kunci utama adalah jangan lupa peduli sama diri sendiri sebelum membantu orang lain. Bila kamu merasa keteteran, beberapa hal yang bisa kamu coba adalah membuat daftar prioritas pekerjaan yang harus dilakukan dan pengeluaran yang harus dibayar, tidur yang cukup, jangan lupa olahraga, dan sisihkan waktu baik untuk bersosialiasi dengan teman dan orang lain.  
  • Tidak menyalahkan diri sendiri. Jangan merasa bersalah bila kamu merasa butuh keluar rumah untuk sekadar bertemu teman atau menghabiskan waktu sendirian. Hal ini penting agar kamu tetap punya energi positif saat kembali ke rumah. Semua orang pun punya batasan masing-masing, merasa kurang maksimal menolong keluargamu adalah hal yang normal, namun jangan biarkan rasa bersalah itu menggerogotimu dari dalam. Kamu berhak untuk hal itu. 
  • Keterbukaan. Bila orang tua termasuk punya dana pensiun dan tabungan pribadi, coba ajak komunikasi dan diskusi dengan terbuka. Bila semua orang tahu kondisi finansial masing-masing, kita bisa lebih mudah membuat rencana finansial untuk orangtua kita sendiri, khususnya tabungan pengobatan dan bahkan dana untuk pemakaman. Bukan maksudnya mendoakan orangtua cepat meninggal, namun lebih baik sedia payung sebelum hujan kan? Belum lagi karena beberapa adat pemakaman di Indonesia menelan biaya yang tak sedikit. Namun, meskipun misalnya kita diberi tanggung jawab untuk mengatur keuangan orang tua, kita tetap harus ingat bahwa itu adalah uang hasil keringat mereka sendiri dan semua keputusan harusnya sesuai persetujuan atau pendapat dari mereka.

Oleh: Monica Horezki

Sumber:
Sarir, Chapta. 2016. Sandwich Generation. Retrieved from file:///C:/Users/ASUS/Downloads/275-Article%20Text-566-1-10-20170107.pdf

Yoga, Alvin. 2020. Semua yang Perlu Kamu Tahu Soal Generasi Sandwich. Retrieved from https://www.cosmopolitan.co.id/article/read/4/2020/18519/ini-keuntungan-memiliki-kartu-kredit-bagi-milenial

Comments

Popular Posts